Cari Blog Ini

Senin, 05 Juli 2010

KOMUNIKASI RASULULLAH

KUTIPAN BUKU "KOMUNIKASI RASULULAH"
Penulis : THORIK GUNARA
Harga : 22.000

Ada 2 tipe orang yang membicarakan kebaikan diri dan orang lain
1. Barangsiapa yang mengangkat seseorang dalam keadaan sum'ah (ingin di dengar) dan riya' (ingin dilihat), yakni orang yang memunculkan orang lain sebagai orang baik dan bertakwa, agar orang banyak percaya kepadanya, menolong dan membantunya sehingga dia dapat memperoleh harta dan kehormatan dengannya.
Allah akan menetapkannya sebagai orang yang riya' dan sum'ah, kemudian memerintahkan malaikat-Nya untuk memperlakukan dia sesuai kelakuannya dan menunjukkan bahwa dia adalah seorang pendusta.

2. Orang yang menampakkan dirinya sebagai orang baik dan bertakwa agar orang-orang yang terkemuka, berkuasa dan kaya, mempercayainya. Dengan itu, dia mendapatkan uang dan kehormatan darinya dengan mudah.

Al-Mustaurid bin Syadad ra bahwa Nabi Saw bersabda, "Barangsiapa memakan makanan yang didapat dengan ca ra menghinakan saudaranya sesama muslim walau sepotong makanan saja maka Allah akan memberikan makanan -yang setara dengan itu- yang berasal dari neraka jahannam. Barangsiapa yang dipakaikan sebuah baju dengan cara menghinakan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengenakan baju semisal dengannya dari neraka jahannam. Barangsiapa yang berdiri terhadap seorang laki-laki dengan niat sum'ah (ingin didengar) dan riya' (ingin dilihat) maka Allah akan mendirikannya pada keadaan sum'ah dan riya' di hari kiamat nanti". (HR Abu Dawud IV/270, Ahmad IV/229, Al-Hakim dan beliau menshahihkannya).

Sikap Mendengar Pujian
Ketika dipuji maka seorang muslim harus mawas diri, tidak merasa ujub dan sombong. Namun jika pujian tersebut tidak benar, dia harus sadar diri dan segera memohon perlindungan kepada Allah. Sebagaimana para sahabat nabi Saw ketika dipuji, mereka membaca doa, "Allahumma laa tu aa khidznii bimaa yaquuluuna waghfirlii maa laa ya'lamuun (Ya Allah janganlah Engkau bebani aku dengan apa yang mereka ucapkan dan ampunilah aku atas apa-apa yang mereka tidak ketahui". (HR Bukhari)
Jangan sampai merasa senang dengan pujian yang tidak benar. Allah Swt menyebutkan bahwa yang demikian adalah sifat orang-orang yahudi dan munafik. Sebagaimana firman-Nya, "...dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih". (QS Ali Imran 3:188).

Maksud dari ayat di atas menurut Imam As-Sa'di adalah, "Senang dipuji dengan kebaikan yang sama sekali tidak dia kerjakan, kebenaran yang sama sekali tidak dia katakan". (Tafsir As Sa'di).

Jangankan Mendengar, Mencuri Dengar Aib Saja Tidak Boleh
Jundub bin 'Abdullah ra berkata, "Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yang mencuri-curi dengar (aib orang lain), niscaya Allah akan memperdengarkan (aibnya) pada hari kiamat". (HR Bukhari & lihat Fathul Bari XIII/128).

Para sahabat berkata, "Berilah wasiat kepada kami!", Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya anggota tubuh manusia yang pertama kali membusuk adalah perutnya. Maka barangsiapa mampu untuk tidak memakan kecuali makanan yang baik, hendaklah dia melakukannya. Barangsiapa mampu untuk tidak membuat jarak antara dirinya dan surga dengan darah segenggam tangan yang dia tumpahkan, maka hendaklah ia melakukannya".

Hadits ini mengandung larangan berkata keji dan kotor terhadap kaum mukminin, membuka kejahatan dan aib mereka, mempersulit dan menimpakan mudarat terhadap mereka. Juga berisi pesan agar tidak menyelisihi jalan yang ditempuh oleh kaum mukminin, komitmen berjamaah bersama mereka dengan sungguh-sungguh. (Lihat Fathul Bari 13/30)

Ketika Mendengar Ghibah
Al-Imam An-Nawawi rh berkata, "Ketahuilah bahwa seharusnya sikap seseorang yang mendengar ghibah terhadap seorang muslim adalah menolaknya lalu memperingatkan pelakunya. Jika tidak mampu memperingatkan dengan perkataan, maka dengan tangan. Jika tidak mampu dengan tangan maupun dengan lisan, hendaklah dia segera meninggalkan tempat itu. (Al-Adzkar An-Nawawiyyah 294).

Menolak Ghibah
Jabir bin Abdullah & Abu Thalhah ra berkata, Rasulullah Saw bersabda, "Tiada seorangpun yang menghinakan seorang muslim dengan melanggar kehormatannya dan menjatuhkan harga diri nya, kecuali Allah akan menghinakannya, pada saat dia sangat mengharapkan pertolongan-Nya. Tiada seorang pun yang menolong muslim di suatu tempat yang diterjang harga dirinya dan dilanggar kehormatannya kecuali Allah pasti menolongnya di suatu tempat yang dia sangat menginginkan pertolongan-Nya". (HR Abu Dawud 4/271, Ahmad 4/30, Syaikh Nashiruddin Al-Al bani berkata, 'hadits ini hasan'. Lihat Shahih al-Jami' ash-Shaghir 5/160).

Abu Ad-Darda ra meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yang menjaga kehormatan diri saudaranya dari kezhaliman, pasti Allah akan menjaga wajahnya dari api neraka besok pada hari kiamat". (HR Ahmad 6/450, At-Tirmidzi 4/327, Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata, 'hadits ini shahih'. Lihat Shahih al-Jami' ash-Shaghir 5/295).

Ka'ab bin Malik, dalam haditsnya yang panjang-tentang kisah taubatnya-berkata, "Nabi Saw duduk di tengah para sahabat di Tabuk dan bertanya, "Bagaimana kabar Ka'ab bin Malik?". Seorang laki-laki dari Bani Salamah berkata, "Wahai Rasulullah, dia tertahan oleh dua lembar selimut pada bahunya". Mu'adz bin Jabal ra menghardik orang itu, "Buruk sekali ucapanmu! Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengenalnya kecuali sebagai orang baik". (HR Bukhari V/130, Muslim IV/2122, Ahmad III/457)

Jauhi Sifat Dengki
Abdullah bin Umar ra berkata, "Ada yang bertanya kepada Rasulullah Saw, "Siapakah manusia yang paling utama?". Beliau menjawab, "Setiap orang yang hatinya terpuji dan lisannya jujur. Para sahabat bertanya, "Lisan yang jujur kami sudah paham. Tetapi apa yang dimaksud dengan hati yang terpuji?". Nabi Saw menjawab, "Hati yang bertakwa dan bersih dari kesalahan, tiada dosa padanya, tiada kedurhakaan, tidak ghill (perasaan negatif terhadap orang lain) dan tidak pula dengki". (HR Ibnu Majah No.4216, lihat shahih Ibnu Majah II/411 dan Al-Hadits Ash-Shahi hah nomor 948)

Bahaya dusta untuk Membuat Tertawa
Pelaku ghibah dengan kejahatan dirinya duduk berkumpul dengan manusia, lalu menceritakan aib orang lain untuk bahan tertawaan. Merekapun tertawa. Pada saat itu ia terus bercerita dan menambah kedustaan dan ghibah hanya untuk bahan senda gurau dan membanggakan diri sendiri.

Rasulullah Saw bersabda, "Celakalah orang yang menceritakan sebuah peristiwa, hanya untuk menjadikan orang lain tertawa, lantas dia berdusta. Celakalah dia! Celakalah dia!". (HR Ibnu Majah nomor 4216, lihat Shahih Ibnu Majah II/411 dan Al-Ahadits Ash-Shahihah nomor 948)

Ghibah yang Diperbolehkan
Al-Imam Al-Bukhari berkata,"Para ulama berkata, "Ghibah diperbolehkan untuk semua maksud yang benar menurut syariat seperti kezhaliman, meminta tolong untuk mengubah kemunkaran, meminta fatwa, meminta keadilan mahkamah, memperingatkan dari kejahatan, termasuk juga men-jarh perawi, persaksian, pemberitahuan dari penguasa suatu wilayah tentang keadaan rakyat di bawah pemerintahannya serta jawaban terhadap permintaan konsultasi dalam masalah pernikahan atau akad perjanjian. Demikian juga orang yang melihat ada orang yang berulangkali menuntut ilmu kepada ahli bid'ah. (Fathul Bari 10/471)

Imam An-Nawawi menjelaskan dalam Riyadhus Shalihin hal 525-526 bahwa ada jenis ghibah yang dibolehkan. Ghibah ini dilakukan untuk tujuan yang benar dan syar’i dimana perkara tersebut tidak bisa tuntas kecuali dengan ghibah :

1. Orang yang teraniaya (mazhlum) boleh menceritakan kelakuan buruk saudaranya pada hakim atau yang berwenang memutuskan perkara. Tujuannya untuk mendapatkan keadilan atau bantuan. Namun demikian memberi maaf dan menyembunyikan keburukan adalah lebih baik dalam kondisi tertentu.

2. Menceritakan kelakuan buruk atau maksiat seseorang pada orang lain dengan maksud meminta bantuan untuk amar ma’ruf nahi munkar sebab setiap muslim harus bahu membahu dalam memberantas kebatilan

3. Istifta’ (meminta fatwa) tetang sesuatu hal. Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan, tidak lebih.

4. Ghibah dalam rangka memperingatkan saudara muslim dari beberapa cacat dan keburukan orang lain. Misalnya, di dalam ilmu hadits hal dikenal dengan al jarh wa at-ta’dil. Yaitu ilmu tentang penilaian perawi hadits dari sisi positif dan negatifnya. Tentang ini ada pembahasan tersendiri. Contoh lain, untuk memperingatkan agar saudara kita tidak tertipu saat membeli barang atau budak. Untuk saat ini barangkali bisa dianalogikan dengan mencari pembantu atau pegawai. Tujuannya agar terhindar dari keburukannya. Atau untuk memperingatkan seorang pelajar agar tidak salah memilih guru yang ahli bid’ah dan fasik. Tentu dengan cara yang tidak berlebihan.
5. Menceritakan perbuatan fasik yang dilakukan secara terang-terangan. Lebih-lebih jika si pelaku tidak merasa terganggu bahkan mungkin bangga, jika kefasikannya disebut-sebut. Misalnya peminum khamr, pezina, tukang palak dan lain-lain. Al-Hasan pernah ditanya, “Apakah menyebut secara langsung orang yang melakukan kekejian secara terang-terangan disebut ghibah?”. Jawabnya, “Tidak, sebab ia tidak memiliki kehormatan diri”.
6. Sekadar untuk menjelaskan karakter seseorang pada yang belum mengenal. Misalnya kita menyebut si A yang pincang, buta, tuli atau lainnya. Hal ini boleh jika tidak ditujukan untuk menghina atau menjadikannya bahan tertawaan.
Yang harus diingat bahwa keringanan yang diberikan dalam ghibah di atas haruslah dilakukan dengan proporsional, secukupnya dan melihat kondisi dan situasi yang tepat. Kita juga harus hati-hati karena setan akan berusaha memanipulasi ghibah yang haram menjadi seakan-akan diperbolehkan. Alasannya demi nahi munkar (melarang perbuatan munkar) tapi nyatanya, setelah mengghibah tidak melakukan apa-apa dan tidak sedikit nasehatpun sampai kepada objek ghibahnya.

Kehinaan Perilaku Ghibah
1. Allah mengumpamakannya dengan memakan bangkai saudaranya. Bahkan bau busuknya pernah tercium oleh Nabi Saw dan para sahabatnya sebagaimana yang dikisahkan oleh Jabir bin Abdillah ra berkata, “Suatu kali kami bersama Nabi Saw, tiba-tiba kami mencium bau busuk yang menyengat, lalu Rasulullah Saw bersabda, “Ini adalah bau busuk orang yang menggunjing orang-orang mukmin”.” (HR Ahmad, Ibnu Abid Dunya).
Karenanya ketika Amru bin Ash ra melewati bangkai seekor bighal yang telah membusuk, ia berkata kepada teman-temannya, “Sungguh seseorang memakan bangkai ini hingga perutnya penuh, itu lebih baik daripada ia memakan daging saudaranya muslim (menggunjingnya)”.
2. Ghibah laksana penyakit kronis yang berbahaya. Seperti dikatakan oleh Hasan Al-Bashri, “Demi Allah, ghibah itu lebih cepat menggerogoti agama seseorang dibanding penyakit kronis yang menggerogoti jasad”.
3. Kelak mereka akan terkejut, pahala amal shalih yang telah dikumpulkannya ternyata habis untuk membayar dosa ghibah yang dilakukannya. Jika kebaikan habis, keburukan orang yang digunjing akan ditimpakan kepadanya. Sungguh ironi, ia menukar pahalanya dengan dosa saudaranya.
4. Yang lebih mengerikan, apa yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra, Nabi Saw bersabda, “Ketika aku dimi’rajkan oleh Allah, aku melihat suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga, mereka mencakar wajah dan dada mereka sendiri lalu aku bertanya kepada jibril?” Jibril menjawab, “Itu adalah orang yang suka memakan daging saudaranya dan menodai kehormatannya”. (HR Abu Dawud)

Orang yg Gemar Melakukan Ghibah
Org yg gemar mengumbar aib sesama muslim mempunyai tujuan :
1. Ingin menutupi aibnya sendiri pada hal sesungguhnya aibnya lebih besar
2. Ingin dipandang mulia di hadapan manusia padahal sesungguhnya dia
lebih hina
Allah Swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) & jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain karena boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) ...". (Q.S. Al-Hujurat 11)
Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yg beriman kpd Allah & hari akhir, maka hendaknya ia mengatakan yg baik atau diam".
Ibnu Hajar rh berkata, "Hadits ini termasuk jawami'ul kalim (pernyataan singkat namun padat maknanya). Sebab yang dimaksud dengan ucapan di sini adakalanya baik atau buruk dan adakalanya mengakibatkan salah satu dari keduanya. Maka, setiap ucapan yg dianjurkan adalah yang termasuk dalam konteks kebaikan, baik yang wajib maupun yang sunnah sehingga diperkenankan mengucapkannya dengan berbagai macam jenisnya. Termasuk di dalamnya juga perkataan yang bermuara kepada kebaikan. Sedangkan yang lainnya, yakni keburukan atau apa yang bermuara kepadanya, beliau memerintahkan untuk diam di saat ada keinginan mengatakannya".
Thabrani dan Baihaqi dalam kitab Az-Zuhd meriwayatkan dari hadits Abu Umamah, Rasulullah Saw bersabda, "Maka hendaklah mengucapkan kebaikan, pasti ia beruntung atau diam dari keburukan, niscaya ia selamat".
Hadits di atas memuat 3 perkara yg menghimpun nilai-nilai akhlak mulia dalam perbuatan dan ucapan. Intinya, barangsiapa yang sempurna keimanannya maka dia memiliki rasa kasih sayang terhadap makhluk Allah dengan :
1. Mengucapkan yang baik
2. Diam dari keburukan
3. Melakukan hal yang bermanfaat atau meninggalkan sesuatu yang
membahayakan

Pengobatan (Cara Bertaubat) Ghibah
Ada 2 cara bertaubat dari ghibah :
1. Meminta maaf pada yang dighibah. Akan tetapi cara ini cara ini rawan menimbulkan sakit hati dan efek samping lain.
2. Menyebutkan kebaikan orang yang dighibah di tempat-tempat dimana dulu dia dighibahi.
Kemudian memohon ampunan, menyesal dan bertekad tidak akan melakukan lagi dan mengakhiri perbuatan buruknya. Cara kedua ini dianjurkan oleh Ibnu Taimiyah rh.

Namiimah
Definisi namiimah menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar rh menyampaikan sebuah nukilan dari Al-Imam Al- Ghazali rh yaitu :
Namimah adalah kelakuan membuka sesuatu yang tidak disukai oleh pemiliknya bila dibuka.

Dzul Wajhain (si muka dua)
Rasulullah Saw bersabda, "Akan kalian dapati, manusia paling buruk di hari kiamat adalah dzul wajhain (si muka dua) yang datang pada sekelompok orang dengan satu wajah dan kepada yang lain dengan wajah yang lain".
Qatadah rh berkata, “Diberitakan pada kami bahwa siksa kubur itu dibagi menjadi tiga bagian, sepertiga karena ghibah, sepertiga karena namimah (fitnah dan adu domba) dan sepertiga karena kencing (yang tidak dijaga)”.

Metodologi Qur'ani dalam Menyikapi Berita :
1. Kembalikan kepada Al-Quran, As-Sunnah dan para ulama
Allah Swt berfirman, “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)[323]. Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”. (An-Nisaa 4:83)
Maka dlm segala urusan syar'i atau duniawi, besar atau kecil, baik atau buruk, pengembaliannya hanya kpd kitabullah, sunnah Rasul-Nya Saw & para ulama.
Dgn itulah, perkara2 tsb ditimbang & menjadi benar lagi bermanfaat yang hanya bisa diketahui oleh org yg ditunjukkan kepada kebaikan & tertutup bagi selainnya.
Al-Qurthubi menjelaskan,"Artinya bahwa apabila mereka mendengar suatu berita yg mengandung ketenteraman, spt kemenangan kaum muslimin & terbunuhnya musuh2 mereka,(atau ketakutan) yakni kebalikan dr hal itu,maka (mereka menyiarkannya).Yakni mereka menyebarkan,mengungkapkan & memperbincangkannya sebelum mengetahui kebenarannya".
Dhohhak & Ibnu Zaid berkata, "Perbuatan itu berkenaan dgn org2 munafik. Maka mereka dilarang dari hal itu lantaran kebohongan yg mereka tambahkan dlm rangka menimbulkan kekacauan".

2. Tabayyun (Meneliti kebenaran berita dan mengetahui secara menyeluruh)
Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat 49:6)
Bagi yg mau memperhatikan sebab turunnya ayat di atas, cukuplah peristiwa itu menjadi nasihat & peringatan utk tdk menerima ucapan atau berita kecuali setelah meneliti & mengecek ulang, memastikan, berhati2 serta berusaha mengetahui sendiri hakikat & kandungannya atau melalui orang-orang yg terpercaya.
Kata an-naba' adalah berita misterius dari orang yang membawakannya dan berita tersebut memiliki kedudukan tersendiri. Sedangkan tabayyun ialah mengorek kejelasan kebenaran berita & mengetahuinya secara menyeluruh.
Setelah membawakan peristiwa sebab turunnya ayat di atas, Ibnu Katsir menambahkan, "Qatadah berkata, "Rasulullah Saw bersabda, "Kehati2an itu bersumber dr Allah & tergesa2 itu bersumber dr setan".

3. Jangan Tertipu oleh Berita Orang Kafir dan Munafik
Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.” (Al-Ahzab 33:60)
Apabila manusia mau merenungkan ayat yg mulia ini & menelaah apa yg dikatakan para ulama tentangnya,nis caya ia akan menemukan suatu pelajaran, ibroh & nasihat utk menahan di ri dr segala apa yg diancam dgn lak nat & kebinasaan oleh Allah Swt.
Al-Qurthubi berkata,"Ayat ini turun ber kenaan dgn para pelaku kekejian". Dikatakan bahwa kaum munafik dan orang-orang yang di hatinya ada penyakit itu hakikat adalah satu, namun diungkapkan dgn dua istilah. Dalilnya adalah ayat tentang org munafik di pembukaan su rat Al-Baqarah.
Dikatakan pula,"Mereka adalah bagian dr kaum muslimin yg suka berbicara dgn berita bohong utk menciptakan ke kacauan.Sungguh,di antara penyebar berita bohong itu (yakni perzinahan yg dituduhkan pada Aisyah ra) adalah sekelompok umat Islam,namun mereka turut menyebarkannya,lanta ran ingin menimbulkan fitnah".
Ibnu Abbas berkata, "Al-Irjaf adalah mencari-cari fitnah (kekacauan) serta menyebarkan kebohongan dan kebatilan untuk mencari keuntungan". Dikatakan pula, irjaf adalah mengobarkan hati (provokasi).
Kata irjaf adalah bentuk tunggal dari kata arojiful akhbaar. Kalimat qod arjafu fisy-syai' artinya mereka telah membicarakan sesuatu. Jadi, irjaf itu haram karena ada unsur menyakiti. Ayat di atas menunjukkan haramnya menyakiti dengan perbuatan irjaf.

4. Harus Ada Saksi
Merenungkan berita bohong (haditsul ifki) yang Allah Swt telah menu runkannya dlm Al-Qur'an yg dibaca sampai hari kiamat,utk membebaskan Ummul Mukminin Aisyah ra dr kebohongan itu & membersihkan keluarga Rasulullah Saw. Yakni kisah yg memuat beberapa pedoman & kaidah syariat dlm menyikapi pernyataan & berita yg biasa didengar manusia dlm setiap masa. Hal itu menjadi gamblang dgn menelaah apa yg disampaikan oleh para ahli tafsir seputar penjelasan ayat-ayat tersebut.
Ibnu Sa'di berkata, "Selanjutnya Allah mengarahkan hamba2-Nya ketika mendengar perkataan seperti ini, Dia berfirman, "Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri..". Maksudnya, org2 beriman sebagian mereka berprasangka baik thd sebagian yg lain, yakni terbebas dr apa yg mereka tuduhkan & bah wa keimanan yg bersemayam dlm diri mereka menolak kebohongan batil yg ditujukan kpd mereka.
"Dan mereka mengatakan..",lantaran prasangkaan baik tersebut,"Maha Suci Engkau (Ya Allah)" (An-Nur 24:12). Yakni menyucikan-Mu dr segala kebu rukan & bahwa org2 pilihan-Mu tertim pa hal2 yg kotor."Ini adalah suatu beri ta bohong yg nyata" (An-Nur 24:12), yakni kedustaan & fitnah,termasuk hal yg sgt besar & jelas dosanya.Inilah di antara prasangka yg wajib dilakukan seorang mukmin saat mendengar per nyataan seperti ini ttg saudaranya sei man.Yaitu membantah berita tsb dgn ucapan & mendustakan org yg menga takannya,"Mengapa mereka (yg menu duh itu) tdk mendatangkan empat org saksi atas berita bohong itu.." (An-Nur 24:13). Maksudnya,kenapa org2 yg me nuduh itu tdk menghadapkan empat org saksi (yg terpercaya & kredibel) atas tuduhan mereka.
"Oleh krn mereka tdk mendatangkan saksi2 maka mereka itu di sisi Allah adalah org2 yg dusta" (An-Nur 24:13). Meskipun secara pribadi mereka meya kini hal itu,namun sesungguhnya mere ka adalah para pendusta menurut ke tetapan Allah.Karena,Dia telah meng haramkan mereka membicarakan hal itu tanpa adanya 4 org saksi.
Oleh karenanya, Allah berfirman,"Maka mereka itu di sisi Allah adalah org2 yg dusta". Semua ini termasuk mengagungkan kehormatan seorang muslim,dimana ia tdk boleh ceroboh melemparkan tu duhan kpd seseorang tanpa adanya korum (jumlah minimal) persaksian dgn benar.
Pada suatu hari, Umar bin Khattab ra menyaksikan peristiwa perzinahan. Dia kemudian datang ke masjid seraya berkata, "Wahai sekalian manusia! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dan aku mendengar dengan telingaku serta aku ingin menegakkan hukum Allah". Ali bin Abu Thalib ra menimpali, "Apakah engkau memiliki beberapa saksi, sebab hukuman perzinahan membutuhkan empat orang saksi".
Mendengar penuturan Ali tersebut Umar kemudian berkata, "Tidak wahai Ali". Ali kembali berkata, "Janganlah engkau menyebutkan namanya. Jika tidak, engkau akan didera sebagaimana hukuman bagi orang yang menuduh berzina". Umar berkata, "Wahai Ali, sungguh aku telah melihat dan mendengarnya sendiri". Ali ra kembali berkata, "Demi Allah jika engkau menyebutkan namanya niscaya aku akan menderamu dengan 80 kali dera". Umar kemudian berkata, "Baiklah wahai Abu Hasan, aku akan diam".
"Sekiranya bukan karena karunia Allah & rahmat-Nya kpd kamu semua di du nia & di akhirat.."(An-Nur 24:14),dima na Dia telah menaungi kalian dgn ke baikan-Nya di dunia & akhirat,dlm uru san agama & dunia kalian."Niscaya menimpa kalian karena pembicaraan kamu.."(An-Nur 24:14),yakni yg kalian bicarakan,"Tentangnya..",berupa beri ta bohong itu."Siksa yg dahsyat",lanta ran kalian memang pantas mendapat kan hal itu akibat dr apa yg kalian kata kan.Akan tetapi,berkat karunia Allah & kasih sayang-Nya kpd kalian,Dia me merintahkan kalian bertaubat & menja dikan hukuman sbg pencuci dosa.
"(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dr mulut ke mulut.." (An-Nur 24:15),yakni kalian menerima begitu saja (berita bohong itu),sebagi an kalian menyampaikan kpd sebagian yg lain & kalian menyebarkannya,pada hal itu adalah ucapan yg bathil."Dan kamu katakan dgn mulutmu apa yg tdk kamu ketahui sedikitpun..." (An-Nur 24:15),dan kedua hal tsb dila rang,yakni memperbincangkan kebati lan & berbicara tanpa dasar ilmu.
"Dan kamu menganggapnya suatu yg ringan saja.." (An-Nur 24:15). Karena nya beberapa org mukmin berani me lakukannya,yg kemudian mereka ber taubat & membersihkan diri."Padahal dia di sisi Allah adalah besar".(An-Nur 24:15)
Dalam ayat di atas mengandung la rangan keras melakukan dosa dgn cara saling bahu-membahu melakukannya. Karena keburukan seorang hamba tdk mampu memberikan faedah sama sekali kpd org lain & tdk bisa meri ngankan hukuman dosanya.Bahkan se baliknya,akan melipatgandakan dosa nya & ia akan mudah terjerumus utk keduakalinya.
"Dan andaikata ketika kalian mendengarnya.." (An-Nur 24:16),yakni kena pakah ketika kalian -wahai org2 yg beriman- mendengar ucapan para penebar berita bohong itu."..kalian me ngatakan..", dgn menolak berita itu & menganggap besar permasalahannya. "Sekali2 tidaklah pantas bagi kita memperbincangkan ini. Maha suci Eng kau (Ya Rabb kami)..", yakni tdk seyog yanya & sepantasnya kita memperbin cangkan berita yg nyata2 bohong ini. Sebab,kekuatan iman seorang muk min akan mampu menghalangi dirinya dr keinginan melakukan hal2 yg buruk.
"Ini adalah kedustaan yang besar" (An Nur 24:16),yakni kebohongan besar, lantaran efeknya adalah menyakiti ma nusia yg menjurus pada timbulnya ke rusakan di tengah masyarakat.Sedang kan Allah tlh melarang kaum mukmi nin menyakiti antara sesamanya.Maka bila seseorang sengaja menyakiti ma nusia berarti ia menentang Rabbnya. Dan penentangan ini pantas mendapat kan hukuman pembangkangan thd pe rintah Illahi serta hukuman yg lain,yak ni hukuman krn menyakiti manusia se hingga siksaannya ganda.Oleh krn itu, Allah menyatakan kejahatan ini seba gai kejahatan besar dlm firman-Nya, "Padahal dia pada sisi Allah adalah be sar" (An-Nur 24:15)

5. Tidak Boleh Langsung Menyebarkan Apa yang Kita Dengar
Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah me ngetahui,sedangkan kamu tdk mengetahui". (Q.S An-Nur 24 : 19)
Ibnu Katsir rh berkata, "Ini adalah pelajaran ketiga bagi orang yang yang mendengar suatu perkataan yang buruk lantas mempengaruhi pikirannya dan ia ingin menyiarkannya. Hendaklah ia tidak memperbanyak hal itu, tidak menyebarkan dan tidak menyiarkannya. Karena orang-orang yang gembira karena tereksposnya berita buruk tentang kaum beriman, maka mereka akan mendapatkan adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Tindakan yang benar adalah mengembalikan semua permasalahan kepada Allah.
Imam Ahmad meriwayatkan dr Tsauban dr Nabi Saw, beliau bersabda, "Janganlah kalian menyakiti hamba-hamba Allah, jangan mencela mereka dan jangan pula mencari-cari cacat mereka. Karena sesungguhnya orang yang gemar mengorek-orek aib saudaranya yang muslim, pasti Allah membuka aibnya, sehingga Dia menghinakannya di dalam rumahnya sendiri".

6. Tidak Boleh Bicara tanpa Ilmu (Bersaksi Palsu)
Allah Swt berfirman, "Dan janganlah kamu mengikuti apa yg kamu tdk mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan & hati, semuanya itu akan diminta per tanggungjawabannya". (Q.S. Al-Isra 17 : 36)
Ibnu Katsir rh dlm penjelasan ayat ini mengungkapkan,"Ali bin Abi Tholhah mengatakan dr Ibnu 'Abbas,ia berkata, "Maksud jangan engkau mengikuti adalah jangan engkau mengatakan"."
Aufi menceritakan dr Ibnu Abbas juga, "Jangan engkau menuduh seseorang yg engkau tdk tahu menahu akan dirinya". Muhammad bin Hanafiyah berkata, "Maksudnya adalah kesaksian palsu".
Qatadah berkata, "Jangan engkau berkata, 'Aku telah melihat',padahal engkau tdk melihat; 'Aku mendengar' sementara engkau tdk mendengar & 'Aku mengetahui' sedangkan engkau tdk mengetahui.Karena Allah akan me nanyaimu ttg semua itu".
Kesimpulan apa yg beliau sebutkan adalah bahwasanya Allah Swt melarang berbicara tanpa dasar ilmu tetapi hanya berlandaskan asumsi yg me rupakan halusinasi & khayalan belaka.
Sebagaimana yg tertera di dlm firman Allah Swt,"..jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.." (Al-Hujurat 49:36).

Tabayyun
Yang pertama harus dilakukan dalam menyikapi konflik antar sesama mukmin adalah tabayyun yaitu klarifikasi, melakukan kroscek dan menanalisa masalah dengan cermat. Mencari akar permasalahan dan bijaksana dalam memandang alasan dan pendapat semua pihak. Kita juga perlu menimbang dan mengamati, jangan-jangan hal itu adalah ulah orang lain yang bermain, menyulut api permusuhan dan mencoba mengambil keuntungan sehingga dalam bersikap dan menentukan tindakan kita tidak salah.
Tabayun harus kita terapkan ketika mendengar isu-isu yang bisa memicu kebencian, kesalahpahaman dan ada muatan adu domba. Karena bisa jadi, kitalah yang menjadi target operasinya dan hendak dijadikan boneka tangan untuk memusuhi saudara seiman.
Ketika ada yang membawa kabar dan isu tak sedap pada Umar bin Khattab ra, beliau berkata, “Kalau kau mau, kami akan mericek perkataanmu. Kalau kamu bohong maka kamu adalah oknum yang ada dalam ayat, “Jika ada seorang fasiq yang datang membawa berita maka tabayunlah (cek ulanglah)” (Al-Hujurat 6). Dan jika kamu jujur maka kamu adalah orang seperti dalam ayat, “yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah”. (Al-Qalam 11). Tapi jika kamu mau, kamu bisa memaafkanmu?” lelaki itupun berkata, “Kalau begitu maafkan aku wahai amirul mukminin, aku tidak akan mengulanginya lagi selamanya”.
Kedustaan, ghibah, penghinaan dan isu-isu fitnah adalah senjata-senjata setan yang mampu membakar amarah hingga mengobarkan permusuhan antar umat Islam, maka hendaknya kita waspada.

Kritik itu bukan untuk Mengumbar Aib tapi untuk Mencari Kebenaran, baik untuk diri maupun untuk Orang Lain
Adapun mengungkap kesalahan seba gian ulama terdahulu yg berbuat salah dgn menggunakan tutur kata yg baik & sopan dlm membantah & memberi kan jawaban maka tdk ada dosa & ce laan yg perlu ditujukan kepadanya. Meski muncul kesan ia terpedaya oleh kata2nya.Sebagian generasi salaf apa bila sampai kepadanya pendapat yg di ingkarinya,ia berkata, "Si fulan dusta (salah)".Termasuk dlm konteks ini sab da Nabi Saw,"Abu Sanabil berdusta (keliru)",yaitu ketika sampai berita kpd beliau kalau Abu Sanabil berfatwa bah wa seorang istri yg ditinggal mati sua minya dlm keadaan hamil maka tdk serta merta halal (selesai masa iddah nya) dgn melahirkan kandungannya. Namun,ia hrs melewati masa empat bulan sepuluh hari.
Apabila tujuannya hanya menjelaskan kebenaran agar manusia tdk terpeda ya oleh pendapat2 yg keliru,maka tdk disangsikan lagi bahwa ia mendapat pahala krn maksudnya itu & lantaran perbuatannya dgn niat yg tulus ini dia tergolong menasihati utk Allah,Rasul- Nya,pemimpin2 muslimin & kepada kaum muslimin.
Adapun jika maksud dr menyanggah pendapat seseorang adalah utk mem pertontonkan aib & kekurangan org yg dia sanggah,membeberkan kebodo han serta kedangkalan ilmu & semisal nya,maka hal itu haram.Baik sangga hannya tsb langsung atau tidak,di ma sa hidup atau sesudah matinya.
Imam Ahmad meriwayatkan dr Tsau ban dr Nabi Saw,beliau bersabda,"Ja nganlah kalian menyakiti hamba2 Allah,jgn mencela mereka & jgn pula mencari2 cacat mereka.Karena se sungguhnya org yg gemar mengorek- orek aib saudaranya yg muslim,pasti Allah membuka auratnya,sehingga Dia menghinakannya di dlm rumahnya sen diri".

Beberapa Tanda Membedakan Nasihat dan Celaan
Siapa saja yang diketahui bahwa bantahannya kepada para ulama bertujuan sebagai nasihat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia harus diperlakukan dengan penuh penghormatan, pemuliaan dan penghargaan seperti sikap para ulama kaum muslimin yang telah disebutkan di atas.
Siapa saja yang diketahui bahwa dalam menyanggah pendapat orang lain itu ia hanya ingin mencacat, mencela dan mempertontonkan aib orang lain, maka selayaknya ia diberi pelajaran agar ia dan orang-orang yang semisalnya menjauhi kelakuan-kelakuan rendah yang diharamkan ini.
Prasangka buruk terhadap orang yang tidak nampak tanda-tanda keburukan pada dirinya termasuk hal yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Jadi, orang yang berprasangka ini telah menggabungkan antara melakukan kesalahan dan dosa dengan menuduh orang yang bersih.
Allah Swt berfirman, "Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa kemudian dituduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata". (An-Nisa 4:112)
Tergolongnya orang-orang yang berprasangka buruk dalam ancaman tersebut semakin kuat apabila nampak tanda-tanda kejahatan dalam dirinya. Seperti ia suka berbuat zhalim, sewenang-wenang, ceroboh, banyak bicara, suka mengghibah, memfitnah, iri terhadap manusia atas apa yg Allah anuge rahkan kepada mereka, mengungkit-ungkit jasa & sangat berambisi utk merebut kekuasaan sebelum waktunya. Siapa pun yg diketahui pada dirinya terdapat sifat-sifat yang dibenci para ahli ilmu & ula ma ini, maka hakikatnya dia hanya me ngarahkan sanggahan & bantahannya kpd mereka karena tujuan ingin men cela sehingga dia berhak dibalas deng an kehinaan.
Sedangkan orang yang secara umum tidak nampak tanda-tanda yang mengindikasikan suatu keburukan pada dirinya maka perkataannya harus ditafsirkan sebaik-baiknya dan tidak boleh ditafsirkan pada keadaannya yang paling buruk (yakni mencela).
Umar bin Khattab ra berkata, "Jangan lah engkau mempersepsikan negatif satu ucapanpun yang keluar dari mulut saudaramu seagama, sedangkan engkau mendapati penafsirannya pada hal yang positif".

Cara Menasihati
Apabila seseorang menunjukkan satu aib kepada saudaranya agar ia meng hindarinya,niscaya hal itu baik bagi org yg diberitahu tentang aibnya se hingga dia bisa mengemukakan ala san bila memang mempunyai alasan. Namun apabila hal itu dilakukan untuk memperolok-olok perbuatan dosa,ma ka itu tindakan buruk lagi tercela.
Rasulullah Saw telah melarang men cemooh seorang budak wanita yg berzina,sekalipun beliau memerintahkan untuk menderanya. Dia didera sebagai penerapan hukum had dan tidak dicela serta diperolok-olok karena perbuatan dosanya.
Rasulullah Saw bersabda, "Siapa yang mencemooh saudaranya karena suatu dosa, niscaya dia tidak akan mati hingga melakukan perbuatan dosa tersebut". (HR At-Tirmidzi)
Demikian itu ditafsirkan pada dosa yang pelakunya telah bertaubat darinya.
Fudhail bin Iyadh berkata,"Orang muk min itu bila berbuat salah ditutupi dan dinasihati, sedangkan org fajir diung kap & dicela".
Yang disebutkan Fudhail ini di antara ciri2 nasihat dan celaan.Yakni bahwa nasihat itu diiringi dengan penutupan aib,sedangkan celaan diiringi dengan pembeberan aib. Siapa yang memerintah saudaranya di hadapan publik berarti dia telah melecehkannya. Mengekspos dan membeberkan aib adalah hal yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya.
Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. Dan sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua dan bahwasanya Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang (niscaya kamu akan ditimpa adzab yang besar)". (Q.S. An-Nur 24 : 19-20)
Sebagian ulama berpesan kepada orang yang beramar ma'ruf, "Bersungguh-sungguhlah untuk menutupi kesalahan orang-orang yang berbuat maksiat. Karena munculnya aib mereka dapat melemahkan Islam, sedangkan sesuatu yg paling berhak ditutupi adalah aurat (aib).

Ada 3 tipe Orang Yang Membicarakan Aib
1. Penasihat, yaitu
- menghilangkan atau bersungguh-sungguh dlm menutupi aib saudaranya
- agar dia menghindarinya
- tujuannya menghilangkan kerusakan dan menguatkan Islam
2. Orang fajir, yaitu
- menyebarkan aib saudaranya seiman
- mencemarkan kehormatannya
- tujuannya agar tertimpa kesusahan di dunia dan melemahkan Islam
3. Orang munafik, yaitu
- menyebarkan aib saudaranya seiman tapi dalam kemasan nasihat
- tujuannya agar tercapai kepentingannya, orang yang diumbar aib
tertimpa kesusahan dan melemahkan Islam
- menjadikan dirinyalah pahlawan kebaikan dan yang paling berhak atas
pujian, kehormatan dan materi
Jadi, betapa jauhnya perbedaan antara orang yang bertujuan menasihati dan orang yang hanya berambisi melecehkan. Tidak akan tersamarkan antara keduanya kecuali pada diri orang yang tidak memiliki akal sehat.

Hukuman Menyebarluaskan Keburukan & Mencemarkan Nama Baik
1. Allah pasti mengusut aibnya dan menghinakannya, walaupun di dalam tempat tinggalnya sendiri Imam Ahmad meriwayatkan dari Tsauban dari Nabi Saw, beliau bersabda, "Janganlah kalian menyakiti hamba-hamba Allah, jangan mencela mereka dan jangan pula mencari-cari cacat mereka. Karena sesungguhnya orang yang gemar mengorek-orek aib saudaranya yang muslim, pasti Allah membuka auratnya,sehingga Dia menghinakannya di dlm rumahnya sendiri".
2. Allah akan menimpakan cobaan dan menjaga saudaranya
Rasulullah Saw bersabda, "Janganlah engkau menampakkan kegembiraan karena musibah saudaramu, akibatnya Allah akan menjaganya dan menimpakan cobaan kepadamu". (HR Tirmidzi)
3. Dia tdk akan mati sampai melakukan dosa (aib) tersebut
Rasulullah Saw bersabda, "Siapa yang mencemooh saudaranya karena suatu dosa, niscaya dia tidak akan mati hing ga melakukan perbuatan dosa tersebut". (HR At-Tirmidzi)
Tatkala Ibnu Sirin terhimpit hutang dan dipenjara karenanya, dia berkata, "Sungguh,aku mengetahui dosa yg me nyebabkan aku mengalami musibah ini. Aku telah mencela seseorang 40 ta hun silam,aku berkata kepadanya, 'Wahai pailit'."

Hukuman Perbuatan Makar kepada Orang Lain
Allah Swt mengabarkan bahwa petaka makar akan kembali kepada pelakunya. Allah Swt berfirman, "Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain org yg merencanakannya sendiri". (Q.S. Fathir 35:43)
Realita membuktikan hal itu. Bagi yg mengikuti berita kehidupan manusia dan sejarah dunia, dia pasti akan me ngetahui kisah org yg berencana buruk terhadap saudaranya, namun makar tersebut berbalik kepada dirinya.

Pencela
Setiap kali Umayyah bin Khalaf melihat Rasulullah Saw maka pastilah dia selalu mencaci-maki dan menghina beliau. Maka turunlah firman Allah Swt, "Celakalah bagi setiap pengumpat lagi pencela". (Q.S. Al-Humazah 1)
Ibnu Hisyam berkata,"
1. Al-Humazah adalah orang-orang yang selalu mencaci-maki orang lain dengan terang-terangan dan ketika dia memaki, maka matanya melotot serta mengisyaratkan penghinaan".
2. Al-Lumazah adalah orang yang membeberkan aib dan mencela orang lain secara sembunyi-sembunyi".

Jangan Buang Kesempatan di Dunia ini Dengan Berbicara yang Bathil
Selagi masih di dunia, pergunakanlah kesempatan berbicara sebaik mungkin, jangan sia-siakan dengan berbicara yang bathil karena di akhirat nanti tidak ada lagi kesempatan itu yang ada hanyalah pertanggungjawaban setiap kata yang keluar dari mulut kita.
Di akhirat kelak, ketika umat Nabi Muhammad Saw menyeberangi jembatan (shirath) dimana jembatan ini adalah jalan terakhir yang menentukan apakah manusia masuk surga atau neraka. Ketika itu, tidak seorangpun yang boleh bicara, hanya Nabi Saw yang diizinkan oleh Allah Swt untuk berbicara.

Di Akhirat nanti ketika menyeberangi Shirath (Jalan Menuju Surga) hanya Rasul yang Boleh Bicara
Rasulullah Saw bersabda, "Aku dan umatku yang paling pertama yang diperbolehkan melewati sirath dan ketika itu tidak ada seorangpun yang berbicara kecuali Rasul dan Rasul berdoa, 'Ya Allah selamatkanlah, selamatkanlah’. (HR Bukhari)

Perkataan yang Paling Berat Timbangannya di Sisi Allah Swt
Rasulullah Saw bersabda, ” Musa berkata: “Ya Rabb, ajarkanlah kepadaku sesuatu untuk mengingat-Mu dan berdoa kepada-Mu”, Allah berfirman:” ucapkan hai Musa لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ Musa berkata: “ya Rabb, semua hamba-Mu mengucapkan itu”, Allah menjawab:” Hai Musa, seandainya ketujuh langit serta seluruh penghuninya –selain Aku- dan ketujuh bumi diletakkan dalam satu sisi timbangan dan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ diletakkan pada sisi lain timbangan, niscaya kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ lebih berat timbangannya”.
(HR. Ibnu Hibban, dan Hakim sekaligus menshahihkan-nya)

Ucapan Terakhir yang Akan Menyelamatkan kita di Akhirat Kelak
Rasulullah Saw bersabda, ”Barangsiapa akhir ucapannya "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan selain Allah) niscaya dia masuk surga”. (HR. Abu Dawud)
Rasulullah Saw bersabda, ”Barangsiapa mati dan dia bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dengan ikhlas dari hatinya, maka Allah mengharamkan badannya dari Neraka" dalam riwayat lain : "Maka dia akan masuk Surga". [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (5/236), Ibnu Hibban (4) dalam Zawa'id dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (3355)].
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt mengharamkan neraka bagi orang orang yang mengucapkanلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ dengan ikhlas dan hanya mengharapkan (pahala melihat) wajah Allah”. ( HR. Bukhari dan Muslim)
Mengucapkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ (Laa ilaaha illallaah) di akhir hayat, tidak semudah yang dibayangkan karena mudah atau sulitnya mengucapkan kalimat tersebut ketika saqaratul maut (menjelang kematian) tergantung dari proses perjalanan selama hidupnya.
Kalau selama hidupnya terus-menerus menjaga dan menegakkan kalimat Laa ilaaha illallaah maka mengucapkannya akan mudah. Sebaliknya, kalau selama hidupnya tidak pernah menjaga dan menegakkan kalimat Laa ilaaha illallaah maka mengucapkannya akan sulit.
Agar kita bisa mengucapkannya dengan mudah, kita harus senantiasa menjaga dan menegakkan kalimat Laa ilaaha illallaah maka kita harus tahu makna Laa ilaaha illallaah, rukun, syarat, konsekuensi dan yang membatalkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar